JAKARTA—Murah atau mutu yang akan dikejar dunia pendidikan di Indonesia? Bisakah murah sekaligus bermutu? Kalau bercermin dari anekdot orang Madura naik becak, antara murah dan mutu jelas sulit dipersatukan.
Selawe kok njaluk slamet (dua puluh lima rupiah kok minta selamat—red). Frase itu sangat populer untuk menggambarkan bagaimana seseorang menawar jasa tukang becak yang adalah orang Madura. Dari harga lima puluh rupiah ditawar hingga cuma dua puluh lima rupiah. Sang tukang becak pun melayaninya dengan ugal-ugalan.
Ketika penumpang ketakutan karena becak tetap ngebut di turunan, dengan tenang si tukang becak menjawan komplain penumpang, ”Selawe kok njaluk slamet”. Dan frase itu pun populer untuk menggambarkan bagaimana sulitnya memperoleh kualitas yang bagus dengan harga yang murah.

Pendidikan jelas tidak sesederhana ilustrasi dalam anekdot tersebut. Banyak aspek di dunia pendidikan yang membuat masalah itu sangat kompleks.
Ilustrasi itu juga tidak bermaksud mengatakan bahwa pendidikan bermutu tidak mungkin dicapai dengan biaya yang murah. Dengan kata lain, murah dan mutu memang bukan pilihan hitam putih karena bisa saja murah tapi bermutu atau tak murah tapi tak bermutu.
Mempertanyakan fasilitas pendidikan memang menjadi sangat relevan ketika dunia pendidikan saat ini sedang dihadapkan pada pilihan tetap masuk General Agreement on Trade in Services) GATS atau memilih mundur dari perundingan internasional itu.
Globalisasi pendidikan sebenarnya bukan baru berlangsung atau baru akan terjadi di Indonesia. Masuknya lembaga pendidikan internasional di Indonesia banyak dilihat sejak beberapa tahun terakhir. Kalau saat ini menjadi polemik, karena GATS memberi batas waktu sampai Mei 2005 untuk melakukan globalisasi pendidikan.

Syarat Minimal
Terlepas dari perundingan GATS, siap atau tidak pendidikan Indonesia memang harus memenuhi syarat minimal pendidikan yang baik. Pendidikan harus memiliki penjamin mutu minimal (minimum quality assurance) dalam satu kerangka yang jelas agar setiap siswa mempunyai kesempatan belajar secara optimal untuk ditantang dengan persoalan keilmuan dengan tradisi berpikir secara ilmiah.
”Minimal pendidikan membutuhkan kualitas pengajar baik guru dan dosen, peralatan sekolah, buku referensi, laboratorium, kurikulum yang berkualitas,” demikian Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto kepada SH.
Guru besar ilmu pendidikan Universitas Negeri Jakarta ini menjelaskan menghadapi globalisasi pendidikan, kuncinya ada di anggaran pendidikan. Tidak mungkin menghadapi globalisasi pendidikan dengan mengandalkan partisipasi subsidi silang dari masyarakat. Tidak semua rakyat kaya dan mampu membayar pendidikan global yang mahal ongkosnya.
Negara barat seperti Amerika Serikat dapat mengandalkan partisipasi masyarakat karena pendapatan perkapitanya tinggi US$ 30.000 per tahun sedangkan Indonesia, hanya US$ 600.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Tinggi dan Menengah DKI Jakarta Margani Muhammad Mustar, Msc kepada SH menjelaskan bahwa prinsipnya bukan pendidikan murah tapi pendidikan bermutu. Pendidikan bermutu membutuhkan biaya yang tidak murah. Pendidikan dalam UU adalah tanggung jawab masyarakat, pemerintah, dan orang tua.
”Kita harus cari modal untuk menanggulangi ketidakmampuan pemerintah untuk mendukung pendidikan. Salah satu sumbernya adalah masyarakat. Kita mengalami dilema. Di satu sisi kita harus memberi kesempatan semua belajar, di sisi lain harus meningkatkan kualitas untuk bersaing. Ini harus dilakukan secara bersamaan dan simultan. Tidak mungkin kita memeratakan pendidikan tanpa mengejar globaliasi yang mahal. Oleh karena itu ada kelas reguler, kelas akselerasi, dan kelas internasional. Inilah demokrasi pendidikan,” jelasnya.
Soedijarto menegaskan lagi bahwa semua ilmu pengetahuan—matematika, fisika, biologi, kimia tehnik, sosiologi, filsafat—bersifat internasional. Harga standar setiap pendidikan juga menggunakan harga standar internasional, tidak bisa ditawar-tawar. Tetapi ada perbedaaan pada upah tenaga pengajar. Guru dan dosen kita dibayar murah sedangkan di luar negeri punya standar yang jauh lebih tinggi.
”Persoalan ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada partisipasi masyarakat. Harus ada upaya keras dari pemerintah mencari sumber dana pendidikan selain peningkatan anggaran lewat APBN. Sejauh ini belum ada upaya yang serius walaupun amanat UU Pendidikan sudah jelas bahwa pemerintah memikul anggaran pendidikan sebesar 20%,” kata pakar pendidikan ini.

Kompetisi
Kalau mau meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satu upaya yang paling logis adalah kompetisi. Kompetisi harus diciptakan secara transparan dan profesional agar terpacu untuk meningkatkan kualitas.
Dalam kerangka ini, Soedijarto menilai kedatangan lembaga pendidikan asing akan memicu kualitas perguruan tinggi. Kita harus cari solusi untuk mampu bersaing, jangan menghindar dari persaingan karena dunia bersaing dalam globalisasi, katanya.
Soedijarto menilai kalau UU tidak diterjemahkan akan terjadi seperti sekarang, mutu pendidikan rendah akibat guru dibayar murah, sekolah dan kampus seadanya sehingga hasil pendidikan masyarakat pasif, konsumtif, etos kerja rendah, dan mudah terjajah.
”Inilah krisis manusia Indonesia. Guru tidak bisa disalahkan karena hanya sebagai motivator. Keadaan seperti ini tidak memungkinkan untuk kompetisi walaupun di dalam negeri sendiri. Kalau tidak ada kompetisi, tidak akan fair,” katanya.
Margani Muhammad Mustar menjelaskan sebanyak 20% perguruan tinggi ada di Jakarta. Semuanya sedang konsolidasi untuk menghadap globalisasi pendidikan.
”Globalisasi pasti datang dan ini kesempatan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dulu kita harus belajar keluar negeri untuk meningkatkan kualitas. Sekarang terbuka bagi perguruan tinggi asing untuk berdiri di Indonesia. Dengan demikian orang Indonesia bisa mendapatkan pendidikan dengan kualitas internasional tapi dengan biaya lebih murah karena di dalam negeri dan tidak ada peningkatan living cost ,” jelasnya.
Soedijarto memiliki pemahaman berbeda soal globalisasi pendidikan. Ia menjelaskan tidak perlu lembaga pendidikan asing membuka sekolah di Indonesia.
Ia mengungkapkan yang lebih penting adalah bagaimana tenaga pendidik Indonesia memiliki taraf internasional dan tidak perlu memakai guru asing di Indonesia atau membuka sekolah di Indonesia.
Membuka sekolah di Indonesia, menurutnya, jelas akan menimbulkan persoalan baru. Akan ada jarak gaji guru asing dan domestik, akan ada gap antara PT asing dan domestik, dan seterusnya, ujar Soedijarto.
”Kita sebenarnya bangsa yang pintar. Pada masa menjelang kemerdekaan para pendiri bangsa menuntut ilmu di sekolah yang bertaraf internasional. Walaupun belajar di Indonesia tapi metode Belanda ternyata lebih baik dari sekarang, sehingga kita punya Soekarno, M. Yamin, M. Hatta, Amir Syariffudin, Sjahrir, Ratulangi dan lainnya yang mampu menghantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Hasil pendidikan saat ini menghasilkan koruptor, manipulator, penjual aset negara, dan pengkhianat,” ujarnya lagi.
Sementara itu, dosen dan Ketua Jurusan Ilmu Politik Fisip Universitas Tirtayasa, Banten, Maruli Hendra Utama mengingatkan agar jangan mengukur Indonesia dari kacamata Jakarta saja.
Kondisi dunia pendidikan di Banten, provinsi tetangga DKI Jakarta, saja sudah bisa menjadi ukuran betapa tidak adilnya pendidikan di Indonesia. ”Bagaimana mungkin kita bicara globalisasi jika semakin banyak SD ambruk, anak sekolah mencoba bunuh diri karean tidak mampu bayar uang sekolah, perguruan tinggi tidak punya perpustakaan, laboratorium, dan komputer seadanya. Kecuali jika globalisasi pendidikan hanya dilakukan di Jakarta saja, sedangkan di daerah full support dari pemerintah pusat,” kata Sekretaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Banten ini. (***)



0 comments:

Post a Comment

 
Top