Model Ujian Nasional (UN) sebagai bentuk evaluasi akhir hasil pembelajara di sekolah, bukanlah hal baru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Namun sepanjang sejarahnya hasil UN kerap dipandang sebelah mata sebagai ukuran obyektif kemampuan seorang siswa. Malah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, terungkap ragam kecurangan yang dilakukan –guru maupun sekolah- dalam mendongkrak hasil UN siswanya.
Bicara soal pengawasan, setiap helatan UN selalu menerapkan model pengawasan yang dianggap ideal. Mulai dari pengawasan bentuk silang murni antar sekolah hingga melibatkan pengawas independen dari pihak di luar sekolah. Dalam hal ini perguruan tinggi mulai dilibatkan aktif sebagai pengawas independen, setidaknya ini sudah berjalan dalam dua tahun UN.
“Masuknya perguruan tinggi dalam pengawasn UN itu tidak lepas dari bentuk tanggung jawab untuk terlibat dalam sistem pendidikan nasional. Lebih khusus lagi untuk mendorong dan mengawal terwujudnya hasi UN yang bermutu,” ungkap Prof Dr H Haris Supratno yang tahun ini ditunjuk sebagai Koordinator Nasional Pengawas UN SMA/MA.
Dibanding dengan tahun sebelumnya, kewenangan perguruan tinggi dalam pengawasan UN tahun ini lebih besar. Hal ini menurut Haris diperlukan untuk ‘meningkatkan’ status hasil UN sebagai bahan pertimbangan masuk ke perguruan tinggi negeri. “Jika selama tiga tahun hasilnya benar-benar kredibel, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tidak harus ada,” lanjut Haris.
Rektor Universitas Negeri Surabaya ini mengakui memang dalam pelaksanaan UN unsur pengawasa memegang peran penting. Selama ini muncul banyak temuan dan isu seputar kecurangan dalam UN. Kebanyakan kecurangan ini dalam bentuk manipulasi dan bantuan kepada siswa untuk bisa lulus. Tidak jarang ini dilakukan secara sistemik oleh sekolah maupun guru.
Namun saat disinggung tentang efektivitas model pengawasan ‘luar biasa’ pada UN tahun ini, Haris juga tidak mampu memberikan jaminan.”Kita belum berani jamin hal itu, kita sedang melakukan negosiasi dengan pihak Badan Penelitian dan Pengembangan dan Badan Standar Nasional Pendidikan. Yang jelas dalam proses pengawasan ini.komitmen kami sudah ada, kita sedang siapkan teknis pendanaannya,” jawab Haris.
Sementara dalam pandangan praktisi pendidikan IKIP Budi Utomo Malang Drs M Yahmin MPd, sebagus apapun bentuk pengawasan yang dilakukan, perlu diingat bahwa hasil UN bukanlah gambaran yang menyeluruh tentang kualifikasi dan pemetaan kemampuan siswa. “Hasil UN tahun lalu sebenarnya bisa menjadi ukuran atas hal ini,” tegas Yahmin.
Merunut pada hasil UN tahun lalu, tiga wilayah di Malang Raya masuk dalam kelompok bawah perangkingan hasil UN di Jawa Timur. Bahkan dibanding dengan daerah pinggiran pun masih kalah. Padahal secara teori, Kota Malang misalnya, dengan fasilitas yang lengkap, media pembelajaran yang memenuhi dan sumber daya yang berkualitas, harusnya lebih baik dibanding daerah lain.
“Model pengawasan memang harus lebih baik untuk meminimalisir terjadinya kecurangan. Tapi sekali lagi hasil UN itu bukan satu-satunya alat ukur untuk mengetahui kompetensi siswa,” tegas M Tahmin .
(Sumber:http://www.koranpendidikan.com/artikel/2893/memburu-mutu-meminimalkan-kecurangan.html)

0 comments:

Post a Comment

 
Top